Setelah mengalami beberapa kali gagal nonton dikarenakan banyak faktor, akhirnya niatku menonton film ini tercapai pada tanggal 09 Januari 2013.
Tulisan ini bukan sekedar ikut meramaikan euforia film Habibie dan Ainun yang penontonnya mencapai 3 jutaan orang sampai saat ini. hanya saja aku akan bercerita tentang beberapa hal yang aku dapat karena menonton film ini.
Di sela-sela menonton film tersebut, aku merenungkan banyak hal khususnya pada tema-tema tertentu yang menyentuh dan menarik seperti : bagaimana ibu Ainun memilih untuk kembali berkarir sebagai ibu dan istri saat telah memiliki kedudukan di RS Jerman sebagai salah satu dokter anak di sana, juga betapa besar cinta yang ibu ainun berikan kepada sosok pak Habibie. Selain ini juga tentang bagaimana perjalanan Panjang pak Habibie dalam menjalani hari-hari beratnya di Jerman dan juga penolakan dari bangsanya sendiri. Bagaimana kesetiaan seorang ibu ainun dalam mendampingi Pak Habibie melalui hari-hari beratnya.
Tema lainnya yang menjadi
salah satu muatan utama dalam film adalah tentang ditutupnya IPTN pada
masa krisis ekonomi 1997 sebagai syarat persetujuan peminjaman dana IMF.
Hal yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan, baru dua tahun berlalu
kebanggaan kita atas terbang perdananya pesawat N250 pada 10 Agustus
1995 sebagai hadiah 50 tahun kemerdekaan. Ada tangan-tangan
internasional yang jelas tak menginginkan Indonesia tampil menjadi
negara besar dengan industri penerbangannya. Lima belas tahun yang
lampau kita menjadi negara yang disegani karena IPTN dan Habibienya,
Saat ini, kita hanya bisa remuk redam mendengar sebuah perusahaan
penerbangan yang dengan bangga membeli hampir 230 pesawat Boeing 797
yang dikatakan terbaru dan tercanggih. Sejatinya IPTN setelah
keberhasilan N-250 dijadwalkan akan menghasilkan N2130 yang memuat
penumpang lebih besar dan diperkirakan akan laris manis dipasaran
daripada Boeing 797 sekalipun. Sederhananya, IPTN ditutup karena akan
membuat pesawat jenis tersebut yang menjadi idola penerbangan hari ini.
Tema besar lainnya yang menjadi topik dalam film ini adalah cinta
kasih dan romantisme antara Habibie dan Ainun. Karena itulah sekilas
yang terlihat dari edisi filmya, dan yang mungkin dicari oleh para
generasi muda adalah sisi romantisme. Tetapi perlu diperjelas dan
ditegaskan, bahwa romantisme ala Habibie Ainun ini tentu sangat berbeda
dan jauh berbeda dengan kisah romantisme yang kita kenal saat ini. Maaf
beribu maaf, hampir semua novel atau kisah yang dianggap romantis di
dunia barat dan timur mengisahkan satu tema yang sama : kematian dan
kasih tak sampai. Tak ada kisah pernikahan, berkeluarga dan kesuksesan
yang penuh kebahagiaan. Yang ada adalah bunuh diri, kegilaan, kematian
dan semacamnya. Tanpa melebih-lebihkan, lihat saja romantis yang
diperkenalkan dalam Romeo dan Juliet dari Barat, atau kisah Laila Majnun
dari Timur, atau bahkan Tenggelamnya kapal van der wijk, Siti Nurbaya
dari negeri kita sendiri, romantis yang didengungkan adalah kisah cinta
kasih yang tak sampai berujung pernikahan, apalagi kesuksesan dalam
kehidupan.
Inilah yang saya sebut dengan genre romantis sejati non picisan yang ada
dalam kisah Habibie dan Ainun. Cinta kasih keduanya begitu indah
berwujud dalam sebuah hubungan pernikahan, bahkan dilanjutkan dengan
kebersamaan dan kekompakan, menelurkan banyak prestasi dan kesuksesan,
bahkan hingga mengantarkan sang kepala keluarga menjadi Presiden RI yang
ketiga.
Selamat tinggal kisah romantis picisan yang menyedihkan. Kita tunggu
kisah romantis lainnya yang menyemangati dan memotivasi. Semoga
bermanfaat dan salam optimis.
-----------------------------------
dengan tambahan dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar